Fitrah seksual, tentang bagaimana seseorang berfikir, merasa, dan bersikap sesuai fitrahnya sebagai lelaki sejati atau sebagai perempuan sejati. Mengapa fitrah seksualitas ini perlu dibangkitkan? Jawabannya sederhana, karena laki-laki dan perempuan itu berbeda. Perbedaan ini terlihat tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga dari anatomi otak yang kemudian berpengaruh pada cara seseorang berfikir dan bertindak.
Menurut teori psikoanalis Sigmund Freud, Tsaqifah Fahimmah Firdaus (2 tahun 2 bulan) masuk ke fase anal dimana sensasi perasaan nya berpusat di daerah anal. Mamduh Afnan Firdaus (8 bulan), masih fase oral, kepuasan fisik dan emosional berpusat hanya di mulut. Makanan adalah kebutuhan yg paling penting untuk fisik dan emosional-nya. Mempunyai dua amanah ini, penting sekali memberikan pendidikan tentang 'Fitrah Seksualitas' dan menanamkan konsep diri yg baik sejak dini bisa membuat anak lebih percaya diri dan menghargai dirinya sendiri termasuk takdirnya menjadi laki-laki atau perempuan.
Menurut saya, memberikan edukasi terhadap anak-anak terkait fitrah seksualitas harus berbarengan dengan Menumbuhkan Penghargaan terhadap Diri Anak. Mengapa? karena jika anak mempunyai kemampuan besar menghargai dirinya sendiri, dia tidak akan mau jika ada orang yang bukan mahram menyentuh dia seenaknya. Selain menumbuhkan penghargaan diri sendiri harus pula dibarengi oleh penguatan pendidikan terkait agama, dan takut terhadap Sang Pencipta Kehidupan Tiada Tanding ini.
Dalam persentasi sepuluh hari dengan tema masing-masing kelompok yang berbeda, banyak dampak negatif jika pendidikan fitrah seksualitas ini tidak dapat di pahami anak. Jika mau lebih dalam memahami persoalan ini adalah tentang kemampuan seorang anak menghargai dirinya sendiri. Dan inilah tantangan kita sebagai orangtua, mendidik anak untuk menghargai dirinya. Bagaimana caranya?, merenung memikirkan ini, dan ternyata ada hal yang tampak 'sepele' namun hal tersebut bisa menentukan apakah kelak anak dapat menghargai dirinya sendiri atau tidak. Contohnya, Tsaqifah yang saat ini berusia dua tahun, banyak hal yang saat ini dia ingin lakukan sendiri tanpa bantuan orang tuanya. semisal, memakai sepatu sendiri. Suatu sore kami sekeluarga hendak ingin pergi, dan qifa antusias memakai sepatu nya sendiri, karena kami berlomba dengan waktu, saya greget ingin cepat melihat qifa menyelesaikan pemasangan sepatunya sendiri. "Qifa, sini mamah bantuin pasang sepatunya", diriku yang menawarkan bantuan kepada qifa agar cepet selesai. "no..no...no..." jawab qifa sambil tampak kesal dengan ibu nya yang tidak memberikan waktu lebih buat qifa untuk mencoba lagi. "Qifa, hayuuu kita sudah ditunggu orang sekarang", kataku dengan nada mulai meninggi... Qifa pun langsung menangis... ðŸ˜ðŸ˜.... kuhembuskan nafas, dan menarik nafas dalam. Sambil mengucapkan kalimat "astagfirullah" ya Allah jagalah kesabaran hamba. Langsung kupeluk dan kugendong qifa, sambil berbisik "maafkan mamah yah nak, kita pakai sepatunya dimobil aja yah"...... Ini sepenggal kisah sederhana dan mungkin tampak "sepele" namun ini bisa menjadi hal yang sangat membekas jika dilakukan berulang-ulang. Jika anak tidak dibiarkan mencoba sendiri, Lunturlah kepercayaan dirinya bahwa ia mampu. Padahal, harga diri merupakan sesuatu yang ditumbuhkan bukan hasil dikte sekejap dan sangat luar biasa dampaknya terhadap persepsi diri anak kelak ketika dewasa.
Disini saya banyak belajar, dan untuk menghindari kejadian diatas berulang lagi, saya akan memberikan waktu kepada qifa untuk memakai sepatunya sendiri atau apapun itu dengan waktu yang lebih lama dan tidak tergesa-gesa. Melalui tulisan ini, mamah memohon maaf atas sikap mamah kepada kamu nak... Terimakasih untuk kalian 'Qifa dan Mamduh', kalian bukan hanya sang buah hati, melainkan guru dan sahabat mamah yang mengisi hari-hari mamah sepanjang waktu.
#Aliranrasa
#level11tantangan10hari
#KuliahBundSayIIP
#FitrahSeksualitas
Irma Tazkiyya
Jeddah, KSA
Komentar
Posting Komentar